Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kewajiban Guru

Dalam pendidikan Islam, Guru memiliki arti dan peranan sangat  penting. Hal ini disebabkan karena ia memiliki tanggung jawab dan menentukan arah pendidikan. Itulah sebabnya pula Islam sangat menghargai dan menghormati orang-orang yang berilmu pengetahuan dan bertugas sebagai pendidik. Islam mengangkat derajat mereka dan memuliakan mereka melebihi dari orang Islam lainnya yang tidak berilmu pengetahuan dan bukan pendidik.
Guru merupakan orang pertama yang mencerdaskan manusia, orang yang memberi bekal pengetahuan, pengalaman, dan menanamkan nilai-nilai budaya, dan agama terhadap anak didik, dalam proses pendidikan guru memegang peran penting setelah orang tua dan keluarga di rumah. Namun karena beberapa keterbatasan yang dimiliki oleh orang tua dari masing-masing anak didik maka tugas ini kemudian diamanatkan kepada pendidik di madrasah (sekolah), masjid, muṣallā, dan lembaga pendidikan lainnya. Di lembaga pendidikan guru menjadi orang pertama, bertugas membimbing, mengajar dan melatih anak didik mencapai kedewasaan. Dengan harapan, setelah proses pendidikan sekolah selesai anak didik mampu hidup dan mengembangkan dirinya di tengah masyarakat dengan berbekal pengetahuan dan pengalaman yang sudah melekat dalam dirinya
Tugas dan tanggung jawab di atas tidak bisa dilakukan oleh orang yang tidak memiliki keahlian untuk melakukan kegiatan atau pekerjaan sebagai guru. Untuk menjadi guru diperlukan syarat-syarat khusus, apalagi untuk menjadi guru yang ideal, guru harus mengetahui seluk-beluk pendidikan dan pengajaran. Oleh karena itu, penting kiranya pada pembahasan ini, dipaparkan hal-hal yang berkaitan dengan pengertian guru dan komponen penting yang harus dimiliki oleh guru dalam meningkatkan kualitas pengajaran  sebagai kunci keberhasilan pendidikan.
        A.        Pengertian Guru
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata guru berarti orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar.9 Menurut Undang-Undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Bab 1 Pasal 1 ayat 1, menegaskan bahwa yang dimaksud dengan guru adalah: pendidik Professional yang memiliki tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini, jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah”.
Ada beberapa julukan yang diberikan kepada sosok guru. Salah satu yang terkenal adalah “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”. Julukan ini mengindikasikan betapa besarnya peran dan jasa yang dilakukan guru sehingga guru disebut sebagai pahlawan. Namun, pernghargaan terhadap guru ternyata tidak sebanding dengan besarnya jasa yang telah diberikan. Guru adalah sosok yang mencurahkan sebagian besar waktunya untuk mengajar dan mendidik siswa, sementara penghargaan dari sisi material, misalnya, sangat jauh dari harapan.[1]
Dalam konsep pendidikan tradisonal Islam, posisi guru begitu torhormat. Guru diposisikan sebagai orang yang ‘alim, wara’, shalih dan sebagai uswah sehingga guru dituntut juga beramal saleh sebagai aktualisasai dari keilmuan yang dimilikinya. Sebagai guru ia juga dianggap bertanggung jawab kepada para siswanya, tidaksaja ketika dalam proses pembelajaran berlangsung, tetapi juga ketika proses pembelajaran berakhir, bahkan sampai di akhirat.[2]
Sehingga, sudah semestinya dan menjadi suatu kewajiban bagi seorang guru untuk mengajarkan dan mengamalkan apa yang sudah diketahui dan dipelajari. Jika kewajiban ini dikerjakan, maka perbuatan mendidik dan mengajar tersebut merupakan amal kebajikan jariyah yang akan mengalir pahala selama ilmu yang diajarkan tersebut masih diamalkan orang belajar tersebut.[3] Maka dari itu untuk menjadi seorang guru yang ideal harus mengetahui dan memiliki tiga komponen penting yaitu Tarbiyah, Ta’lim, dan Ta’dib.
         B.        Pengertian Tarbiyah, Ta’lim, dan Ta’dib
1.      Tarbiyah
Terminologi Tarbiyah merupakan salah satu bentuk translitasi untuk menjelaskan istilah pendidikan. Secara bahasa kata Tarbiyah berasala dari bahasa arab yang berarti: raja/penguasa, tuan, pengatur, penanggung jawab, serta pemberi ni’mat. Sedangkan secara istilah Tarbiyah dapat diartikan sebagai proses penyampaian atau pendampingan (asistensi) terhadap anak yang diampu sehingga dapat mengantarkan masa kanak-kanak  tersebut kearah yang lebih baik, baik anak tersebut anak sendiri maupun anak orang lain.[4]
Menurut al-Baidlawy kata al-Rabb dari kata Tarbiyah yaitu menyampaikan sesuatu sedikit demi sedikit sehingga sempurna, dan jika dilihat dari fungsinya kata Rabb terbagi menjadi tiga yaitu; Rabb sebagai pemilik/penguasa, sebagai Tuhan yang ditaati dan sebagai pengatur. Berangkat dari makna asal kata Tarbiyah tersebut, Albani berpendapat bahwa pendidikan terdiri dari empat unsur; pertama, menjaga dan memlihara fitrah anak hingga baligh. Kedua, mengembangkan seluruh potensi. Ketiga,  mengarahkan fitrah dan seluruh potensi menuju kesempurnaan dan ke-empat, dilaksanakan seacara bertahap.[5]
Dari uraian makna yang tercakup dalam terminologi kata Tarbiyah, baik dari segi etimologi maupun terminologi terdapat prinsip-prinsip yang menjadi dasar pandangan Islam terhadap hubungan manusia, baik antara manusia dengan khaliqnya, maupun manusia dengan alam raya. (murid dengan guru maupun murid dengan lingkugan sekitar/masyarakat).
2.      Ta’lim
Kata تَعْلِيْمditinjau dari asal-usulnya merupakan bentuk mashdar dari kata عَلَّمَ  yang kata dasarnya عَلِمَ, mempunyai arti mengetahui. Kata عَلِمَ dapat berubah menjadi bentuk أَعْلَمَ dan kadang berubah menjadi عَلَّمَ, yang mempunyai arti proses transformasi ilmu, hanya saja kata أَعْلَمَ yang mashdarnya إِعْلَامً dikhususkan untuk menjelaskan adanya transformasi informasi secara sepintas, sedangkan kata عَلَّمَ yang mashdarnya berbentuk تَعْلِيمmenunjukan adanya proses yang rutin dan terus-menerus serta adanya uapaya yang luas cakupannya sehingga dapat memberi pengaruh pada muta’allim (orang yang belajar).
Kata تَعَلُّم (ta’allum) mempunyai makna adanya sentuhan jiwa, hal ini ditunjukan firman Allah dalam QS. al-Baqarah: 31
Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"
Pengajaran yang dilakukan oleh Allah kepada nabi Adam untuk menyebutkan nama-nama benda, mempunyai makna bahwa Allah menjadikan Adam dapat mengucapkan dan memberi nama sesuatu sebagaimana hal tersebut telah diajarkan kepadanya.[6]
Dalam konteks ini, proses pengajaran dilakukan seorang guru kepada peserta didiknya secara ruti, maka harus mampu memberikan pengaruh terhadap perubahan intelektual peserta didik. Perubahan intelektual tersebut tidak berhenti pada penguasaan materi yang telah diajarkan oleh guru, tetapi juga mempengaruhi terhadap perilakubelajar peserta didik, dari malas menjadi rajin atau dari yang tidak kreatif menjadi kreatif.[7]
3.      Ta’dib
Kata Ta’dib berasal dari kata أَدَبyang berarti perilaku dan sikap sopan. Kata ini dapat juga berarti do’a, hal ini karena do’a dapat membimbing manusia kepada sifat yang terpuji dan melarang sifat yang tidak terpuji. Kata أَدَب dalam berbagai konteksnya mencakup arti ilmu danma’rifat, baik secara umum mauoun dalam kondisi tertentu, dan kadang-kadang digunakan untuk mengugkapkan sesuatu yang dianggap cocok dan serasi dengan selera individu tertentu.
Salah seorang tokoh pendidikan Syed Muhammad Naquib al-Attas, ia menggunakan istilah Ta’dib dalam pendidikan islam digunakan untuk menjelaskan proses penanamn adab kepada manusia. Istilah yang digunakan Syed Muhammad Naquib al-Attas berbeda dengan tokoh-tokoh lain yang kebanyakan menggunakan istilah tarbiyah. Kata Ta’dib merupakan bentuk mashdar dari kata Addaba yang berarti mendidik atau memberi adab, dan ada yang memahami arti kata tersebut sebagai proses atau cara Tuhan mengajari para Nabi-Nya.
Dalam terminologi ini, al-Attas memberikan defenisi Ta’dib adalah pengenalan dan pengakuan tentang hakekat bahwa pengetahuan dan wujud itu bersifat teratur secara hirarkhis sesuai dengan beerbagai tingkatan dan derajat mereka tentang tempat sesorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakekat serta dengan kapasitas dan potensi jasmaniah, intelektual serta ruhaniah seseorang.
Al-Attas juga melihat bahwa adab telah banyak terlihat dalam sunnah Nabi, dan secara konseptual ia terlebur bersama ilmu dan amal. Dari sini, maka pendidikan Islam menurutnya lebih cenderung menggunkan istilah Ta’dib sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi: “Tuhanku telah mendidikku, dengan demikian membuat pendidikanku yang paling baik. (HR. Ibnu Hibban).[8]
Dengan gambaran tugas dan peran semacam ini, guru atau pendidik merupakan sosok yang seharusnya mempunyai banyak ilmu, mau mengamalkan dengan sungguh-sungguh ilmunya tersebut dalam proses pembelajaran dalam makna yang luas, toleran, dan senantiasa berusaha menjadikan siwanya memiliki kehidupan yang lebih baik.[9] Karena Dalam Pendidikan Islam, secara umum untuk menjadi guru yang ideal dan diperkirakan dapat memenuhi tanggung jawab yang dibebankan kepadanya, hendaknya guru bertakwa kepada Allah, berilmu, sehat jasmaninya, baik akhlaknya, bertanggung jawab dan berjiwa nasional.[10]


Daftar Pustaka
Munir Ahmad. 2008. Tafsir Tarbawi, cet. Pertama, Yogyakarta: Teras.
Muntahibun Nafis, Muhammad. 2011. Ilmu Pendidikan Islam, Yogyakarta: Teras.
Naim Ngainun. 2013.  Menjadi Guru Inspiratif, cet. Ke-4, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sudiyono, M. 2009. Ilmu Pendidikan Islam, Jilid I, Jakarta: Rineka Cipta.




[1]Ngainun Naim, Menjadi Guru Inspiratif, Cet. Ke-4, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hal. 1.
[2]Ibid., hal. 5.
[3]Muhammad Muntahibun Nafis, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Teras, 2011), hal. 112.
[4]Ahmad Munir, Tafsir Tarbawi, Cet. Pertama, (Yogyakarta: TERAS, 2008), hal. 32.
[5]Ibid., hal. 33.
[6]Ahmad Munir, Tafsir Tarbawi, hal. 40-41.
[7]Ibid., hal. 43.
[8]Ahmad Munir, Tafsir Tarbawi, hal. 43-45.
[9]Ngainun Naim, Menjadi Guru Inspiratif, hal. 4.
[10]M. Sudiyono,Ilmu Pendidikan Islam – Jilid I, hlm. 124-125

Post a Comment for "Kewajiban Guru"