Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PEMIKIRAN KALAM HASSAN HANAFI

Pasca wafatnya nabi Muhammad (570 M-632 M), pembahasan seputar kepemimpinan berlanjut kepada teologi yang bermunculan disebabkan oleh beberapa perbedaan persoalan prinsip yang fundamental dan utama. Al-Syahrastani (± 469 H-548 H), sekitar abad ke-6 H. Mensinyalir penyebab perpecahan dan pertumpahan darah diantara umat Islam. Ada empat persoalan prinsip yang fundamental, yaitu:
Pertama, berkenaan dengan sifat-sifat dan ke-Esa-an Allah, dalam hubungannya dengan sifat-sifat tersebut. Hal ini meliputi persoalan eksistensi sifat-sifat yang Qadim, yang diyakini oleh sebagian orang dan ditolak sebagian yang lainnya. Hal ini juga meliputi sebuah penjelasan yang terperinci terhadap sifat-sifat yang esensial dan sifat-sifat perbuatan. Mengenai yang wajib bagi Allah; apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin bagi-Nya. Persoalan tersebut menimbulkan perbedaan dan perdebatan dan bebarapa golongan diantaranya; Asy’ariyyah, Karramatiyyah, Mujasimah dan golongan Mu’tazilah.
Kedua, berkenaan dengan Qadar dan Keadilan Tuhan. Meliputi, ketetapan Aliah dan Takdir, Jabr dan Kasb, kehendak Tuhan terhadap yang baik dan yang buruk, yang berada dalam pengetahuan seseorang. Menimbulkan perdebatan antar golongan diantaranya; Qadariyyah, Jabariyyah, dan lain sebagainya.
Ketiga, yakni, berkenaan dengan “Janji dan Ancaman”, al-Asma Wa Ahkam. Yang meliputi persoalan Iman, tobat, ancaman, penangguhan, menyatakan seseorang sebagai kafir dan menyesatkan. Perbedaan terjadi pada golongan, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyyah, dan lain sebagainya.


Keempat, yakni, berkenaan dengan wahyu dan akal, nubuwah, dan imamah. Meliputi persoalan-persoalan seperti; kebaikan dan yang baik dan kejahatan dan yang jahat; (perbuatan Tuhan terhadap) yang baik atau yang terbaik, kelemah- lembutan, kemaksuman pada diri para nabi, syarat-syarat yang diperlukan bagi imamah; apakah ia didasarkan pada penunjukan melalui penetapan (wasiyyah), sebagai yang dipegang oleh sebagian orang atau melalui kesepakatan atau konsensus umat (ijma’) sebagaimana yang dipertahankan sebagian yang Iainnya. Cara pemindahan imamah melalui ketetapan menurut orang-orang yang percaya kepada imamah, atau melalui penentuan menurut orang-orang yang percaya dengan kesepakatan. Dalam persoalan ini terdapat perbedaan antara golongan Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, dan Asy’ariyyah.
Perdebatan yang muncul di antara umat Islam tersebut, selalu dikembangkan sedemikian rupa dengan senantiasa melakukan pengikisan internal, sehingga kesamaan yang sebenarnyai masih tersisa, tidak tergantikan dan tidak sempat memperoleh perhatian. Dari seputar empat prinsip tersebut hingga menyebabkan pertumpahan darah, karena golongan yang satu menghakimi golongan yang lain, tergantung golongan manakah yang lebih mempunyal otoritas dan pemegang kekuasaan pada waktu itu. Manusia menjadi korban akibat perdebatan, padahal Tuhan menjadi prioritas permasalahan bukan manusia itu sendiri. Hingga pada akhirnya muncul tradisitradisi yang saling bertentangan dan berlawanan sesama mereka (umat Islam).
Hasan Hanafi membagi tradisi (turats) pada dua sisi, tradisi kekuasaan dan tradisi oposisi, tradisi Negara dan tradisi rakyat, budaya resmi dan budaya perlawanan. Dengan demikian tidak ada tradisi secara mutlak, masing-masing bersifat total, tidak terbagi-bagi, tidak terpecah-pecah dan tidak terpisah-pisah, yang ada adalah tradisi yang terkait secara khusus dengan masyarakat, kelas dan kekuasaan, bahkan juga dengan fase sejarah secara keseluruhan. Tradisi menjadi tradisi kekuasaan karena memberikan legitimasi kepada kekuasaan politik yang berkuasa, dan berusaha mencabut legalitas kekuasaan dan tradisi oposisi. Kekuasaan menyeleksi tradisinya, kemudian dijadikan representasi, dijadikan satu-satunya pegangan yang dimutlakkan dan mengkafirkan tradisi selain tradisinya. Maka, tenggelamlah pluralitas, kebudayaan hanya memiliki satu orientasi, dan sistern politikhanya memiliki satu partai.
Tradisi kekuasaan adalah tradisi Ahlusunnah Wa al-Jama‘ah, kelompok yang konsisten (istiqomah), kelompok yang berpegang pada riwayat dan hadist (ahl-riwayah wa al-hadis), dan merupakan umat Islam. Sementara itu tradisi oposisi adalah tradisi Syi’ah, Khawarij dan Mu’tazilah. Para pendukung tradisi kekuasaan memiliki gelar-gelar seperti, al-Syeikh, al-Rais, Hujjatul Islam, Imam al-Haramain, Nasir al-Millah wa al-Din, Hami aHima al-Islam...dst. Sementara para pendukung tradisi oposisi mendapat gelar seperti, atheis, zindiq, kafir, murtad, munafiq, manawi, zoroaster, sabi, barhainiy... dst. Tradisi kekuasaan merupakan satu-satunya kelompok yang selamat, sementara tradisi oposisi merupakan di antara tujuh puluh kelompok yang sesat. Aliran teologi dalam Islam oleh al-Syahrastani dapat diklasifikasikan kepada empat aliran utama, setelah beberapa aliran Iainnya diasimilasikan kedalamnya; Qadariyyah, Khawarij, dan Syi’ah. Keempat aliran ini menjadi bercampur baur dan pada saat yang sama berbagai sub-aliran muncul dari tiap-tiap aliran tersebut. Hingga kemudian berjumlah tujuh puluh tiga.
Dalam wacana pemikiran Islam kontemporer, upaya merumuskan Islam yang sesuai dengan situasi dan kondisi terkini semakin hangat dan kian gencar dilakukan oleh umat Islam. Meskipun bukan perkara yang mudah untuk mengharmoniskan secara dialektik nilai-nilai normatif-transenden Islam dengan fenomena atau realitas sosial. Tumbuh mekarnya diskursus teologi ke arah perumusan teologi baru dalam sejarahnya adalah sebuah keniscayaan sejarah. Jika para pendahulu kita mengalami keresahan dalam merumuskan Islam yang sesuai dengan zamannya, maka di zaman modern keresahan juga dialami oleh pemikir-pemikir Islam kontemporer, salah satunya adalah Hasan Hanafi.
Keresahan yang dialami Hasan Hanafi, berawal sejak dari “Khalil Agha”, dimana realitas umat Islam mengalami penindasan, kemiskinan, keterbelakangan dan yang sangat menyedihkan umat Islam dalam keadaan terpecah belah, yang sudah keluar dari apa yang digambarkan dalam al Qur’an, bahwa umat Islam adalah umat yang satu. Pembaharuan sebenarnya merupakan konsekuensi logis dan ciri dasar ajaran Islam. Hal ini didasarkan pada;
Pertama, Islam adalah ajaran universal, yang misinya adalah rahmat bagi semua alam. Dalam ajaran yang universalnya, Islam menekankan keseimbangan antara persoalan spritual dan duniawi, ritual dan sosial, yang mengacu pada pandangan al Qur’an.
Kedua, adanya keyakinan bahwa Islam adalah ajaran terakhir yang diturunkan Allah dengan memuat semua prinsip moral dan agama untuk semua umat manusia. Penegasan tehadapfinalitas, bahwa Islam adalah agama wahyu dan Allah yang diembankan oleh Rasul-Nya sebagai pembawa risalah terakhir.
Kedua hal tersebut tergambar dalam ajaran utama Islam (Tauhid) yang bertujuan mengembalikan semua bentuk kehidupan keagamaan, dan upaya mengimplementasikan ajaran Islam sesuai dengan tantangan perkembangan bangsa dan kehidupan.


Post a Comment for "PEMIKIRAN KALAM HASSAN HANAFI"