Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sejarah Kaum Baha'i dan Qadiani

Baha’i
1.   Sejarah berdirinya Kaum Baha’i
        Sejarah berdirinya kaum Baha’i tidak dapat dilepaskan dari nama Mirza Ali Muhammad dari Shiraz, Iran. Meskipun beberapa literatur menyebutkan nama Baha’ullah sebagai pendirinya, tetapi sebenarnya, Baha’iyah dideklarasikan pertama kali oleh Ali Muhammad pada tahun 1844 M di Iran. Ali Muhammad berdakwah dan kemudian mendapat gelar suci al-Baab atau sang bab atau sang pintu hidayah.[1]
    Pengajarannya dinamai “Babiyah”, Mirza Ali Muhammad mengangkat dirinya “Imam Mahdi”. Setelah ia meninggal, ajarannya di kembangkan olehh muridnya, Mirza Husen Ali keturunan bangsawan persi. Mirza Husen Ali memberi gelar dirinya dengan: “Bahaullah” yang berarti ke’elokan Allah.
        Pada tahun 1863, Ia mengumumkan misi-Nya untuk menciptakan kesatuan umat manusia serta mewujudkan keselarasan di antara agama-agama. Baha’ullah meninggal pada tahun 1892. Dalam surat wasiat-Nya beliau menunjuk putra sulungnya, Abdul-Baha sebagai suri teladan agama Baha’i, penafsir yang sah atas tulisan sucinya serta pemimpin agama Baha’i setelah Baha’ullah meninggal.
        Abdul-Baha memimpin agama Baha’i hingga meninggal pada tahun 1921. Dalam surat wasiatnya, Abdul-Baha menunjuk cucu tertuanya Shoghi Effendi Rabbani sebagai wali agama Baha’i dan penafsir ajaran agama ini.Setelah Shoghi Effendi meninggal pada tahun 1957 maka yang menjadi pemimpin dan pembimbing masyarakat baha’i adalah suatu lembaga yang berisikan 9 mukmin yang di pilih berdasarkan musyawarah sesuai sistem administrasi Baha’i yang di tetapkan sendiri oleh Baha’ullah. Lembaga ini di kenal dengan nama Balai Keadilan Sedunia.[2]
2.   Contoh Penafsiran baha’i Tentang Doa
        Doa merupakan unsur yang sangat penting dan harus dilakukan setiap hari, biasanya di rumah. Dalam agama ini, ada tiga macam doa salah satunya harus dijalankan setiap hari. Ketika berdoa, para penganut Baha’i harus menhadap ke Akka, Israel. Tujuan dari sembahyang wajib adalah untuk menumbuhkan kerendahan hati dan pengabdian. Cara umat Baha’i berdoa kepada Tuhan yaitu[3] :
a.    Meditasi.
Sebagaimana disebutkan dala kitab sucinya Baha’ullah mengajarkan pengikutnya agar senantiasa bermediasi setiap hari, berfikir tentang apa yang mereka lakukan pada siang hari dan pada apa tindakan mereka yang layak. Akan tetapi mereka harus menghindari takhayul pada saat melakukan meditasi.
b.   Shalat wajib.
Shalat wajib yang diajarkan Baha’i ialah berdoa minimal satu kali dalam sehari. Doa-doa tersebut diajarkan Bah’ullah sebagai sebuah kewajiban bagi semua Baha’i dari usia 15 tahun keatas. Salat satu dari tiga shalat wajib yaitu :
1)      Doa pendek dibacakan sekali setiap 24 jam antara sing dan matahari terbenam.
2)      Doa menengah diucapkan tiga kali sehari pagi, siang, dan malam hari.
3)      Doa panjang yang harus dibacakan sekali dalam setiap 24 jam setiap saat, idealnya ketika dalam keadaan kagum dan hormat.
       Sebelum melaksanakan shalat, seseorang harus berwudlu terlebih dahulu. Doa atau shalat harus dilakukan ditempat yang bersih dan menghadap ke gunung karmel, Akka, hanya mereka yang sakit atau tua (lebih dari 70 tahun) dibebaskan dari pelaksanaan ibadah, namun mereka harus membaca ayat tertentu dari kitab suci mereka sebanyak 95 kali selama periode 24 jam. Bagi orang yang berpergian dan wanita selama periode menstruasi juga dibebaskan pelaksanaan ibadah. Membaca doa satu shalat wajib sehari bukan satu-satunya bentuk doa, bahaullah juga mengajarkan bahwa hidup seseorang secara keseluruhan harus berdoa dan hidup dalam semangat yang tepat.[4]
3.   Ajaran Etika
      Sebagaimana para Nabi telah mendapat petunjuk dari Tuhan untuk membimbing umat manusia, begitu pula Nabi Baha’ullah telah mendapat petunjuk, sebagaimana diajarkan Abdul Baha di bawah ini:
1)      Janganlah berperilaku yang membuat orang berduka cita, ramahlah terhadap semua orang, sayangilah sesama manusia dengan hati yang murni, janganlah perduli apa pun yang datang pada anda sekalipun anda ditantang atau dilukai. Jika terjadi bencana yang hebat, bergembiralah, karena hal itu adalah karnia dari Tuhan.
2)      Janganlah suka mengemukakan kesalahan orang lain, berdo’alah untuk mereka, tolonglah mereka dengan kebaikan hati agar mereka memperbaiki kesalahan mereka. pandanglah selalu yang baik dan jangan memandang yang buruk.
3)      Jangan mengucapkan satu katapun yang tidak baik tentang orang lain, walaupun musuh sekalipun. Lakukanlah perbuatan-perbuatan dengan baik hati. Pisahkanlah hati dari dirimu dan dari dunia. Rendahkanlah hati dan saling mengabdi dan mengetahui bahwa diri itu ada lebih kurang dari siapapun juga.
4)      Berperilakulah seolah-olah kita satu jiwa dalam banyak raga. Semakin banyak sayang menyayangi semakin dekat dengan Tuhan. Bertindaklah hati-hati dan bijaksana, berkatalah sebenar-benarnya, terimalah dengan ramah siapa saja yang datang padamu dan indahkanlah sesamamu.
5)      Usahakanlah kesembuhan bagi orang yang sakit, hiburlah orang yang dalam duka, air sejuk bagi setiap dahaga, hidangan lezat bagi yang lapar, bintang bagi setiap kaki langit, cahaya bagi setiap lampu, pembawa kabar baik bagi setiap orang yang rindu pada kerajaan Tuhan.
4.   Kehidupan Sesudah Mati
        Menurut Agama Baha’i bahwa kehidupan didunia ini adalah persiapan menghadapi kehidupan dalam alam ghaib, yaitu alam roh yang tidak pernah mati. Apabila roh di dalam badan ketika hidup didunia itu baik, maka ia akan hidup sempurna dan penuh di alam roh, akan tetapi jika roh di dalam badan ketika hidup di dunia buruk maka ia akan menjadi tidak sempurna dan tidak penuh di alam roh yang abadi, karena tidak dekat dengan kerahmatan Tuhan.
        Pada dasarnya agama ini tidak mengenal surga dan neraka. Apa yang dikatakan mereka ‘surga’ adalah dekat dengan Tuhan. Sedangkan ‘neraka’ berarti jauh dari Tuhan. Kehidupan baik manusia di dunia berarti ia akan mencapai kedamaian, mendapatkan karunia rohani, terkabulnya keinginan hati, dan bertemunya dengan Tuhan dalam alam abadi. Bagi kehidupan yang buruk di dunia, akan mendapatkan hukuman berupa pencabutan berkah, pencabutan anugerah, dan jatuh dalam kehidupan yang sangat rendah.
        Karena dalam kenyataan prakteknya ajaran agama Baha’i ini dilaksanakan para penganutnya memecah belah dan mengacaukan kehidupan masyarakat maka agama ini di Indonesia telah dilarang oleh pemerintah Republik Indonesia bedasarkan Surat Keputusan Perdana Menteri No. 122/PM/1959 tanggal 21 Maret 1959.

Qadiani


1.      Sejarah kaum qadiani
      Qadiani adalah nama suatu daerah di India, yang disitu adalah tempat lahirnya aliran Ahmadiyah. Ahmadiyah menurut Ihsan Ilahi Dzahir menjelaskan,”suatu aliran yang menyakini ada nabi setelah nabi Muhammad SAW, mereka menyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi mereka. Selain itu mereka mempunyai kitab suci yang dikenal dengan nama Tadzkirah sebagaimana umat Islam mempunyai Al-Qur’an”.
        Gerakan Ahmadiyah didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad yang lahir di Qadian, distrik Gusdapur, Punjab wilayah India, pada tahun 1839 dan meninggal pada 26 Mei 1908. Dia berasal dari hereditas bangsa Mongolia. Gerakan tersebut yaitu gerakan mesianik yang paling aktif dan kontroversial sejak kelahirannya di India-Inggris pada tahun 1889.
      Golongan Ahmadiyah Qadian mengakui dan mendukung keberadaan organisi khilafat dengan alasan menuruti ajaran Islam dan wasiat Mirza Gulam Ahmad bahwa dalam jama’at harus ada khalifah yang ditaati oleh jama’at. Selain itu, mereka mengakui dan meyakini bahwa beriman kepada Mirza Gulam Ahmad adalah suatu kewajiban, maka barangsiapa mengingkarinya di adalah kafir, Mereka juga meyakini bahwa Mirza Gulam Ahmad itu betul-betul nabi, dan pintu kenabian tetap terbuka sesudah Rasulullah saw, yang didasarkan pada perkataan Mirza Gulam Ahmad dalam bukunya Eik Ghalti Ka Izalah, yakni:
      “Kapan dan dimanapun aku telah mengingkari panggilan nabi atau rasul maka maknanya tidak lain hanya bahw aku bukanlah nabi atau rasul yang mustaqil, membawa syariat baru, dan menjadi nabi yang berdiri sendiri, melainkan aku menerima karunia-karunia dari keruhanian Rasulullah saw., karena aku menaati beliau serta dianugerahi nama dari Rasulullah saw. Oleh karena itu, aku menerima ilmu-ilmu gaib dari Allah swt. Dengan demikian, aku adalah rasul dan nabi, namun tidak membawa syariat baru. Nabi dengan arti semacam ini tidak pernah aku ingkari. Justru dengan makna inilah Allah selalu memanggilku nabi dan rasul.”[5]
2.      Contoh Penafsiran Kaum Qadyani
      Kaum Qadyai menafsirkan Ayat 40 surat al-Ahzab sebagai berikut[6]:
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَٰكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
a.       Sesungguhnya kata al-Khatam disitu artinya bukan “terakhir” akan tetapi artinya adalah “lebih utama”. Jadi, maksud dari ayat tersebut adalah Muhammad bukanlah nabi yang terakhir tetapi nabi yang utama.
b.      Pengertian dari kata al-Khatam adalah “Pandai atau Cerdas”, maka dengan kepandaiannya tersebutlah Muhammad menjadi Nabi.
c.       Pengertian kata an-Nabiyyin adalah para nabi yag membawa syariat baru dan Muhammad adalah nabi yang menutup Syariruat tersebut seprti Nabi Harun kepada Nabi Musa.
      Penta’wilan yang rusak seoerti inilah yang menjadi dasar bgi mereka untuk mengangkat Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi.
      Penta’wilan seperti ini tidak perlu memikiran dan pengkajian mendalam utuk mengetahui kesesatannya, karena dari luar sudah nampak jelas kandungan dan kehampa’an yang terungkap dari ungkapan-ungkapan mereka.


PENUTUP
        A.        Kesimpulan
            Baha’I dan Qadiani adalah suatu aliran yang menyimpang jauh dari islam dan dan termasuk dalam aliran / sekte sesat dan banyak penyimpangan-penyimpangan yang ada dalam ajaran mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Imron,  M Ali, 2015. Sejarah Terlengkap Agama-agama di Dunia,  Yogyakarta: Diva Press
Mathar, Qasim, 2003, sejarah,teologi,dan etika agama-agama, Yogyakarta: pustaka pelajar,
Zulkarnain,  Iskandar  , 2006, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia. Yogyakarta: LkiS
Dzahir,Ihsan Ilahi, 2008,  Ahmadiyah Qadianiyah, , Jakarta , Balai penelitian dan Pengembangan Agama
Hubaisy, Thaha dasuki, 2006, Munculnya aliran-Aliran Sesat Zaman Modern, Bandung : CV ustaka Setia




                        [1]M Ali Imron, Sejarah Terlengkap Agama-agama di Dunia, (Yogyakarta: Diva Press, 2015), hal. 509
                [2]Qasim Mathar, sejarah,teologi,dan etika agama-agama, (pustaka pelajar, Yogyakarta: 2003), hal.40
                        [3]M. Ali Imron, Op, Cit, hal, 527-532
                [4]Ibid hal.530
                        [5]Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia. (Yogyakarta: LkiS. 2006). Hal. 72
                [6]Ihsan Ilahi Dzahir, Ahmadiyah Qadianiyah, (Balai penelitian dan Pengembangan Agama, Jakarta, 2008) hal. 202-203