Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Bentuk-Bentuk Penafsiran

Tafsir Bil Ma’tsur
Pengertian tafsir bil matsur secara bahasa adalah berasal dari kata atsara artinya bekas. Dan tafsir bil mat’sur disebut juga tafsir bir riwayah karena berdasarkan riwayat-riwayat yaitu Al-Quran dan Hadits dan selainnya.  Tafsir bil ma’tsur disebut juga tafsir bi naqli, karena riwayatnya berdasarkan pemindahan dari satu orang ke orang lain atau sesuatu yang  ditranferkan.
Sedangkan menurut istilah para ulama mendefinisikan tafsir bil matsur diantaranya, menurut Manna’ Al-Qaththan,  tafsir bil matsur adalah tafsir yang berdasarkan kutipan-kutipan yang shahih yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan Hadits Nabi yang berfungsi untuk menjelaskan Kitab Allah, dan juga dengan perkataan sahabat karena merekalah yang lebih mengetahui Kitab Allah atau dengan apa yang dikatakan tokoh-tokoh besar tabi’in karena pada umumnya mereka menerimanya dari para sahabat[1].
Menurut Muhammad Al-Zarqani,  tafsir bil matsur adalah penafsiran ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Quran, Al-Qur’an dengan Sunnah Nabi, dan para sahabat. Sedangkan menurut Muhammad Husein Adz-Dzahabi, tafsir bil matsur adalah penafsiran yang bersumber ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Quram, dengan Hadits nabi, perkataan sahabat dan juga tabiin, tabi’ tabiin  termasuk dalam kerangka tafsir riwayat meskipun mereka tidak secara langsung menerima tafsir dari Rasullullah SAW.
Berdasarkan definisi tersebut tafsir bil ma’tsur adalah penafsirannya terfokus pada riwayat-riwayat yaitu dengan menggunakan penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, penafsiran Al-Qur’an dengan sunnah, penafsiran Al-Qur’an dengan perkataan para sahabat dan lain sebagainya.Dalam tradisi studi Al-Qur’an klasik, riwayat merupakan sumber penting di dalam pemahaman teks Al-Qur’an. Sebab Nabi Muhammad SAW. Adalah  sebagai mufassir pertama terhadap Al-Qur’an. Dalam konteks ini muncul istilah metode tafsir riwayat. Karena pada masa Rasullulah, sahabat menerima riwayat-riwayat atau penjelasan Al-Quran dari Nabi Muhammad SAW. Lalu sahabat tersebut menyampaikan riwayat tersebut kepada sahabat yang lainnya begitu juga seterusnya.
1.      Bentuk Tafsir bil Ma’tsur beserta Contohnya:
a.       Tafsir Al-Quran dengan Al-Qur’an
Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an adalah satu ayat, kata atau huruf dalam Al-Qur’an ditafsirkan dengan ayat yang lainnya. Contohnya:
1)      Q.S Al-Maidah: 1 yaitu sebagai berikut :
أُحِلَّتْ لَكُم بَهِيمَةُ الأَنْعَامِ إِلاَّ مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ
“Hewan ternak dihalalkan bagimu, kecuali yang akan disebutkan kepadamu”,
ayat ini ditafsirkan oleh ayat 3 dalam surah yang sama.
...حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ
“Diharamkan bagimu(memakan) bangkai, darah, dan daging babi...”
2)      Q.S.Ath-Thariq:1 yaitu sebagai berikut:
وَالسَّمَاءِ وَالطَّارِقِ
“Demi langit dan yang datang pada malam hari” (QS. Ath-Thariq: 1)
Kata Ath-Thariq dijelaskan dengan firman-Nya lebih lanjut pada surat itu pula:
النَّجْمُ الثَّاقِبُ
“(yaitu) binatang yang cahayanya menembus” (QS. Ath-Thariq: 3)
3)      Q.S. Al-Baqarah: 37 yaitu sebagai berikut:
فَتَلَقَّى آَدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang” (Q.S. Al-Baqarah: 37)
Kalimat yang diterima Adam ditafsirkan dengan ayat:
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“keduanya berkata (Adam dan Hawa), “wahai Tuhan kami, kemi telah menganiaya diri kami, andai kata Kamu tidak memaafkan dan mengasihi kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.” (Q.S Al-A’raf: 23)
b.      Tafsir Al-Qur’an dengan Hadits Nabi SAW
Tafsir Al-Qur’an dengan Hadits Nabi SAW adalah satu ayat, kata atau huruf dalam Al-Qur’an ditafsirkan dengan hadits Nabi. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Muslim dari Uqbah bin ‘Amir berkata : “Saya mendengar Rasulullah berkhutbah diatas mimbar membaca Firman Allah Q.S Al-Anfal: 60 [2] :
وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا اسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ
Artinya:“Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki...”
kemudian Rasulullah bersabda :
ألا إن القوة الرمي
“Ketahuilah bahwa kekuatan itu pada memanah”.
c.       Tafsir sahabat, tabi’in dan tabi’it-tabi’in
      Sesungguhnya tafsir para sahabat yang telah menyaksikan wahyu dan turunya adalah memiliki hukuman marfu’ artinya, bahwa tafsir para sahabat mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan Hadits Nabawi yang diangkat dari Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, tafsir sahabt itu termasuk ma’tsur.[3]
      Adapun tafsir para tabi’in dan tabi’it-tabi’in ada perbedaan pendapat dikalangan ulama. Sebagian ulama berpendapat, tafsir itu termasuk ma’tsur, karena tabi’in itu bejumpa dengan sahabat. Ada pula yang berpendapat, tafsir itu sama saja dengan tafsir bi ra’yi (penafsiran dengan pendapat). Artinya, para tabi’in dan tabi’it-tabi’in itu mempunyai kedudukan yang sama dengan Mufasyir yang hanya menafsirkan berdasarkan kaidah bahasa arab.
2.      Contoh Kitab Tafsir yang Menggunakan Tafsir bil Matsur
a.       Kitab Tafsir Ath-Thabari
Kitab tafsir Jami’ul bayan fi takwil Al-Qur’an atau lebih dikenal dengan Tafsir Ath-Thabari adalah dikarang oleh Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thabari (224H – 310 H). Kitab tafsir ini berjumlah 12 jilid dan merupakan tafsir yang tertua. Tafsir ini merupakan referensi bagi para mufassirin terutama penafsiran yang menggunakan tafsir bil matsur.  Dan juga kitab tafsir Ath-Thabari menggunkan metode tahlili yaitu menafsirkan ayat Al-Qur’an secara tartib mashafi dan juga mengupasnya secara detail disertai dengan analisa yang tajam.
Beliau menafsirkan ayat al-Qur’an dengan jelas dan ringkas dengan menukil pendapat para sahabat dan tabi’in disertai sanadnya. Jikalau dalam ayat tersebut ada dua pendapat atau lebih, disebutkan satu persatu dengan dalil dan riwayat dari sahabat maupun tabi’in yang mendukung dari tiap-tiap pendapat kemudian mentarjih (memilih) diantara pendapat tersebut yang lebih kuat dari segi dalilnya. Dan juga dalam penafsiran beliau juga menggunakan riwayat Israiliyat. Oleh karena itu Beliau menggunakan tafsir bil matsur dalam kitab tafsirnya.
b.      Tafsir Ibnu Katsir
Kitab Tafsir Ibnu Katsir atau Tafsir Al-Qur’an Al-Adhim yang dikarang oleh Imaduddin Abul Fida’ Ismail bin Amr bin Katsir (705H - 774H) atau yang lebih dikenl dengan Ibnu Katsir. Tafsir Ibnu Katsir terdiri dari 4 jilid. Tafsir Ibnu Katsir merupakan tafsir terpopuler setelah Tafsir At-Thobari dengan menggunakan penafsiran bil matsur.
Beliau sangat teliti dalam mentafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menukil perkataan para sahabat. Beliau juga menafsirkan ayat dengan ibarat yang jelas dan mudah dipahami. Menerangkan ayat dengan ayat yang lainnya dan membandingkannya agar lebih jelas maknanya[4].
c.       Tafsir Imam Suyuthi
Tafsir Ad-Dur Mantsur fi Tafsir bil Ma’tsur atau yang lebih dikenal Tafsir Imam Suyuthi. Kitab Tafsir tersebut terdiri dari 6 Jilid. Kitab Tafsir Al-Dur Al-Manstur Fi Tafsir bil Ma’tsur karya Imam Jalaluddin As-Suyuthi merupakan salah satu karya tafsir bi matsur. Hal tersebut terlihat dalam penafsiran yaitu dalam Q.S.Al-Baqarah:30. Ketika dalam menafsirkan ayat tersebut Imam Suyuthi  mengutip hadits Rasullulah dan perkataan sahabat, diantaranya Ibnu Abbas dan Mujahid. Di samping itu dalam menafsirkannya juga mengaitkan dengan ayat yang lain dam juga beliau menafsirkan berdasarkan tartin mashafi dari Surat Al-Fatihah sampai Surat An-Nas.Dengan langkah-langkah tersebut dapat digolongkan tafsir tersebut kitab tafsir bil ma’tsur.




Tafsir Bil Ra’yi

Berdasarkan pengertian etimologi, Ra’yi berarti keyakinan (I'tiqad), dan Ijtihad. Dan ra’yi dalam terminologi tafsir adalah Ijtihad.[5] Sedangkan menurut terminologi sebagaimana didefinisikan oleh Manna Qathan,[6] :“ Tafsir Birra’yi ialah tafsir yang didalam menjelaskan maknanya mufassir hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulan (istinbath) yang didasarkan pada ra’yu semata yakni bukan pemahaman yang sesuai dengan ruh syari’ah. ” Dengan demikian, tafsir birra’yi sebagaimana didefinisikan Husen Adz-dzahabi adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir yang telah mengetahui bahasa arab dan metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta problema penafsiran seperti asbab an-nuzul, nasakh-mansukh, dan sebagainya.[7] Al-farmawi mendefinisikan tafsir birra’yi sebagai penafsiran al-Qur’an dengan ijtihad setelah mufassir yang bersangkutan mengetahui metode yang digunakan orang-orang arab ketika berbicara dan ia pun mengetahui kosakata Arab beserta muatan artinya.
1.      Sebab Munculnya Tafsir Birra’yi
Tafsir birra’yi muncul sebagai corak penafsiran setelah tafsir bilma’tsur muncul, walaupun sebelum itu ra’yu dalam pengertian akal sudah digunakan para sahabat ketika menafsirkan al-Qur’an. Apalagi kalau kita menilik bahwa salah satu sumber penafsiran pada masa sahabat adalah ijtihad. Di antara sebab yang memicu kemunculan corak tafsir birra’yi adalah semakin majunya ilmu-ilmu keislaman yang diwarnai dengan kemunculan ragam disiplin ilmu, karya-karya para ulama, berbagai metode penafsiran, dan pakar-pakar di bidangnya masing-masing. Akibatnya, karya tafsir seorang mufassir sangat diwarnai oleh latar belakang ilmu yang dikuasainya. Di antara mereka, ada yang lebih menekankan telaah balaghah seperti az-Zamakhsyari, telaah hukum-hukum syara’ seperti al-Qurthubi, telaah keistimewaan bahasa, seperti as-Su’ud, atau qira’ah, seperti an-Naisaburi dan an-Nasafi, telaah madzhab-madzhab kalam dan filsafat, seperti ar-Razi dan telaah lainnya. Hal ini dapat dipahami sebab disamping sebagai seorang mufassir, seseorang dapat saja ahli dalam bidang fiqh, bahasa filsafat, astronomi, kedokteran, atau kalam.[8]
Kemunculan tafsir birra’yi dipicu pula oleh hasil interaksi ummat Islam dengan peradaban Yunani yang banyak menggunakan akal. Oleh karena itu, dalam tafsir birra’yi, peranan akal sangat dominan.
2.      Pembagian Tafsir Birra’yi
Selanjutnya para ulama membagi corak tafsir birra’yi kepada dua bagian, yaitu tafsir birra’yi yang dapat diterima dan tafsir birra’yi yang ditolak.
1)      ar-Ra’yu al-Mahmudah
Ar-Ra’yu al-Mahmudah (penafsiran dengan akal yang diperbolehkan) dengan beberapa syarat diantaranya:
Ijtihad yang dilakukan tidak keluar dari nilai-nilai al-Qur’an dan as-sunnah.
·         Tidak berseberangan penafsirannya dengan penafsiran bil ma’tsur
·         Seorang mufassir harus menguasai ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tafsir beserta perangkat-perangkatnya. Beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan metodologi ini diantaranya: Tafsir Al-Qurthuby, Tafsir Al-Jalalain, Tafsir Al-Baidhowy.
2)      ar-Ra’yu al-Mazmumah
Ar-ra’yu Al-Mazmumah (penafsiran dengan akal yang dicela / dilarang), karena bertumpu pada penafsiran makna dengan pemahamannya sendiri. Dan istinbath (pegambilan hukum) hanya menggunakan akal/logika semata yang tidak sesuai dengan nilai-nilali syariat Islam. Kebanyakan metode ini digunakan oleh para ahli bid’ah yang sengaja menafsirkan ayat al-Qur’an sesuai dengan keyakinannya untuk mengajak orang lain mengikuti langkahnya. Juga banyak dilakukan oleh ahli tafsir periode sekarang ini. Di antara contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah: Tafsir Zamakhsyary, Tafsir Syiah Itsna Asyariah, Tafsir As-Sufiyah dan Al-Bathiniyyah.
3.      Contoh-contoh Kitab Tafsir bir-Ra’yi
a.       Mafātiḥ al-Ghayb
Tafsir ini adalah karya Muḥammad bin ‘Umar bin al-Ḥasan al-Tamīmiy al-Tabaristaniy al-Rāziy (Fakhr al-Dīn al-Rāziy), masyhur dengan Ibnu al-Khatib al-Syafi’i al-Faqih. Dilahirkan di Ray pada tahun 543 H, dan wafat di Harah pada 606 H.
Dalam penafsirannya beliau menempuh jalan para hukama al-Ilāhiyyah, yang tercermin pada dalil-dalil beliau dalam pembahasan-pembahasan tentang Tuhan. Disitu beliau menentang aliran Mu’tazilah dan aliran-aliran tersesat lainnya dengan alasan-alasan yang kuat dan bukti-bukti yang nyata. Beliau juga menolak tuduhan-tuduhan dari orang-orang yang ingkar dan menentang agama dengan uraian-uraian yang amat jelas. Sungguh tafsir beliau ini merupakan yang terluas dalam membahas ilmu kalam.
Al-Razi juga seorang ahli dalam ilmu kedokteran dan ilmu alam. Beliau juga berbicara soal astronomi, juga tentang langit dan bumi, hewan dan tumbuh-tumbuhan, bahkan tentang manusia. Tujuan utama beliau dalam tafsirnya adalah untuk menolong kebenaran serta mengetengahkan bukti-bukti adanya Allah swt, disamping menentang ulah orang-orang yang tersesat.
b.      Madārik al-Tanzīl wa Ḥaqā’iq al-Ta’wīl
Tafsir ini ditulis oleh Shaykh al-‘Ālim al-Zahīd ‘Abdullāh bin Ahmad al-Nasafiy. Wafat tahun 701 H. Tafsir ini dikenal juga dengan tafsir Al-Nasafiy (dinisbahkan pada penulisnya), tafsir ini sebuah tafsir besar, terkenal, mudah dan mendalam. Bila dibandingkan dengan tafsir-tafsir al-ra’yi yang lain lebih ringkas dan sempurna.
Pengarang kitab Kashf al-Ẓunūn mengatakan, “Tafsir ini adalah kitab sederhana tentang takwil, namun mencakup seluruh segi i’rāb dan qirā’ah, mencakup segala keindahan ilmu al-badī’ dan isyarat, memuat beberapa pendapat ahlus sunnah wal jama’ah dan jauh dari kebathilan kelompok-kelompok bid’ah dan menyesatkan. Kitab ini tidak panjang lebar, namun juga tidak pendek”.
c.       Al-Baḥr al-Muhīṭ
Pengarang tafsir ini adalah Shaykh Muḥammad bin Yusūf bin Ḥayyān al-Andalusi. Wafat tahun 745 H. Tafsir ini terdiri dari delapan jilid, yang mana beliau melengkapi beberapa bidang ilmu, meliputi nahwu, sharraf, balaghah, hukum-hukm fiqhiyyah dan lain-lainnya, sehingga dianggap sebagai referensi tafsir. Bahasanya memang mudah. Dinamakan Al-Baḥr al-Muhīṭ, karena didalamnya memuat banyak ilmu yang bersangkutan dengan materi tafsir.